Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email

Wisuda Angkatan Ke-7 dan Peluncuran 6 Karya Siswa

Minggu, 27 Maret 2022. Madrasah Fattah Hasyim mewisuda 239 wisudawan dan wisudawati kelas XII. Mereka telah dinyatakan selesai menempuh jenjang Aliyah di Madrasah Fattah Hasyim, walaupun ada beberapa siswa yang dinyatakan tidak lulus.

Dalam sambutan atas nama wali peserta didik KH. Nur Hadi atau yang mashur dikenal dengan Mbah Bolong menceritakan pentingnya pendidikan di pesantren dan selalu taat kepada guru. Beliau bercerita bahwa dulu, sekira sudah mondok 10 tahunan, ayahnya mengajak sowan Mbah Bolong kepada Kiai Djamal untuk memboyong beliau pulang. Akan tetapi dawuh guru beliau yaitu Mbah Yai Djamal, “Sabar sek ndek kene, entenono rong tahun engkas, gelem sabar rong tahun ng kene, muleh dadi kiai”. Ternyata Mbah Djamal malah memerintah agar tidak boyong dulu sampai dua tahun lagi dan jika mau sabar selama 2 tahun, Mbah Bolong pulang akan dipanggil kiai atau jadi kiai.

Karena manut guru itulah. Mbah Bolong mondok di Bumi Damai Al-Muhibin selama 12 tahun. Beliau kini memanen buah susah payah di pondok dengan merasakan barokahnya yakni bisa menjadi mubaligh dan memimpin pondok serta mendirikan berbagai lembaga pendidikan sebagai indikasi ilmu manfaat.

Atas nama Ketua Yayasan yang dalam hal ini diwakili Kiai Abdul Djabar Hubby. Beliau menukil maqolah yang artinya, “Watak seseorang itu mencuri dari siapa dia bergaul”. Yang maknanya adalah apabila santri mondok dan bermujalasah, ngaji kepada kiai, maka dia akan “mencuri” karakter-karakter baik kiai dan pasti akan jadi orang yang bermanfaat.

Sementara sambutan Kepala Madrasah Fattah Hasyim, disampaikan oleh KH. Mohammad Idris, S.PdI. Beliau memberikan penjelasan tentang Surat At-Taubah Ayat 122. Pertama bahwa tidak sepatutnya orang mukmin semuanya pergi berperang. Harus ada sekelompok yang Tafaqohu Fiddin dengan tujuan agar mereka bisa berdakwah ketika kembali ke kelompoknya. Beliau menerangkan bahwa derejat ilmu tafaquh fiddin adalah derajat tertinggi karena tujuan dari ilmu-ilmu agama adalah untuk mengenal Allah SWT.

Selain itu, Kepala Madrasah mengajak segenap wisudawan untuk tidak berhenti belajar pada ilmu-ilmu Tafaquh Fiddin, tapi juga ilmu-ilmu fardlu kifayah. Beliau menukil dawuh KH. Abdul Djalil Mustaqim Tulungagung yang suatu ketika menyuruh anak yang akan lulus sekolah agar semua melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sekuat orang tuanya mampu membiayai.

Beliau berpesan, meneruskan kuliah hendaknya mencari jurusan yang manfaatnya bisa langsung diterima oleh masyarakat. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat. Beliau mencontohkan tentang jurusan bidan, jika ada santri putri yang jadi bidan. Maka ketika dia menolong orang melahirkan dan bayinya lahir, bayi itu langsung didoakan oleh santri. Maka, hal-hal yang bermanfaat dimasyarakat bisa menjadi pilihan untuk memacu diri untuk belajar.

Acara wisuda generasi ke-7 ini juga dimeriahkan dengan peluncuran 6 karya siswa kelas akhir yaitu (1) Kisah Hidup Para Penulis Kitab Kuning, (2) Al-Ibtida’ Fil I’rob ala Alfadzi Aby Syuja’, (3) Empat Pilar Kota Santri, (4) Counter Attack Manhaj Salafi, (5) Common English Vocabullary, (6) The Word Of Matemathic. Karya-karya itu, mendapat sambutan dari bapak kepala, bahwa siswa-siswa ini telah “mencuri” karakter Mbah Yai Djamal yang seorang penulis, sehingga sekarang mereka menulis buku.

Mauidloh Hasanah disampaikan oleh Dr. KH. Abdul Kholiq Hasan, Rektor IAIBAFA Tambakberas Jombang. Beliau memebrikan makalah yang berjudul, “Fa Aina Tadzhabun?”. Atau, “Lalu Mau Kemana Kalian Pergi?”. Dalam makalah itu, Bapak Rektor menukil keterangan dalam surat Al-Insirah 7-8, Al-Jumuah ayat 2, serta dari referensi dari Ikhya dan Al-Hikam.

Dalam penjelasan yang begitu indah, Dr. KH. Abdul Kholiq Hasan berpesan kepada para wisudawan agar di dalam mencari ilmu hendaknya memperhatikan guru yang memberi ilmu. Carilah kiai dan bu nyai, guru dan dosen yang benar-benar bisa memberi petunjuk keluar dari permusuhan kepada persaudaraan. Yang menjadikan dunia cukup di tangan dan tidak memasukan di hati. Dan semua itu ada di pesantren. (*)