JOMBANG – Dalam acara Wisuda ke-10 Madrasah Fattah Hasyim yang berlangsung pada Ahad, 20 April 2025, di Gedung Serbaguna K.H. Hasbullah Said Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Takbakberas Jombang, Kiai Rijal Mumazziq memberikan mauidhoh hasanah dan membekali para santri sekaligus calon alumni dengan empat kunci utama untuk meraih kesuksesan di masyarakat.
Di hadapan 248 wisudawan wisudawati dan wali santri, Kiai Rijal menyampaikan bahwa keempat kunci ini telah didapatkan selama menimba ilmu di pesantren dan menjadi bekal penting dalam perjuangan di jalan Allah. Empat kunci tersebut, menurut beliau, dapat disingkat dalam satu kata: “MURSI”.
Pertama, “MU” berarti Mushohabah. Kiai Rijal menjelaskan bahwa mushohabah bukan hanya sekadar menjalin persahabatan dengan teman selevel, tetapi juga membangun kedekatan berupa suhbah ilmiah dan suhbah ruhaniah dengan para guru yang memiliki kualitas keilmuan dan spiritual di atas para santri.
Beliau mengisahkan tentang seorang santri nakal di zaman Kiai Fattah yang kemudian menjadi kiai besar di Jawa Barat berkat kesediaannya untuk mushohabah dan bergaul erat dengan Kiai Fattah, sehingga keburukannya hilang dan tergantikan dengan kebaikan.
Lebih lanjut, Kiai Rijal mengaitkan mushohabah di pesantren dengan khidmah atau pengabdian kepada kiai. Beliau mencontohkan suhbah di zaman Nabi Muhammad SAW melalui kedekatan Sayidina Anas bin Malik RA yang menjadi abdi ndalem (pembantu rumah tangga) Nabi sejak usia sembilan tahun hingga wafatnya. Berkat khidmah-nya, Sayidina Anas mendapatkan tiga keberkahan, yaitu keturunan yang barokah, harta yang melimpah, dan umur yang panjang.
Kisah serupa juga terjadi pada Sahabat Abdullah bin Mas’ud yang menjadi alim dan hafal Al-Quran karena selalu membawakan terompah Nabi. Kiai Rijal menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan para guru yang telah mendidik di pesantren, karena dari merekalah barokah seringkali terpancar. Beliau juga mencontohkan kisah Mbah Yai Djamal di Tambakberas yang awalnya dianggap santri biasa, namun setelah lulus memiliki ilmu yang bermanfaat dan barokah hingga memiliki ribuan santri berkat kesabaran, keistiqomahan, dan khidmah kepada gurunya.
Khidmah, menurut Kiai Rijal, tidak hanya terbatas pada melayani kiai secara langsung, tetapi juga mencakup menjadi pengurus pondok, menjaga koperasi, menjadi sopir, dan lain sebagainya. Beliau meyakinkan bahwa barokah dari khidmah ini akan terlihat nyata ketika para santri terjun ke masyarakat.
Kiai Rijal mengutip dawuh Syekh Ibnu Athaillah al-Syakandari dalam kitab Al-Hikam yang mengingatkan untuk tidak berteman dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangat meraih rida Allah dan ucapannya tidak menunjukkan kepada Allah.
لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ.
Artinya, “Janganlah berteman terhadap orang yang kondisinya tidak membangkitkanmu (untuk meraih rida Allah) dan ucapannya tidak menunjukkanmu kepada Allah.”
Kedua, “R” adalah Riyadlah. Kiai Rijal menjelaskan bahwa riyadlah memiliki banyak bentuk, seperti khidmah kepada guru, qiyamul lail, puasa Daud, dan puasa Senin Kamis. Orang yang istiqomah dalam riyadlah akan mendapatkan kemuliaan ketika berkhidmat di masyarakat.
Beliau menekankan bahwa santri pasti akan menghadapi berbagai halangan dan rintangan di manapun berada, dan riyadlah adalah tabungan untuk menghadapinya. Menurut beliau, kesengsaraan yang dialami santri selama di pesantren akan menempa mereka menjadi pribadi yang kuat dan tangguh ketika berkhidmat di masyarakat.
Kiai Rijal juga mengingatkan pesan Mbah Kiai Fattah tentang “tirakat buka dampar,” yang berarti dimanapun santri Fattah Hasyim dan Bahrul Ulum berada, mereka harus bisa mengajar, meskipun muridnya adalah istri, tetangga, atau bahkan calon mertua. Beliau juga menekankan agar santri tidak gengsi dengan pekerjaan halal, karena tidak ada korelasi antara ilmu dan pekerjaan. Banyak ulama besar yang tetap dihormati masyarakat meskipun memiliki pekerjaan yang sederhana seperti tukang sandal, tukang cat, tukang kunci, nelayan, atau penjual air mawar.
Banyak para ulama agung yang meskipun mereka ahli fiqih, ahli aqidah, ahli ushul fiqih, dan ahli tafsir tapi tetap bangga mencantumkan profesinya di belakang nama dengan mentereng sebagaimana kita kenal ada ulama bergelar an-Ni’ali atau tukang sandal. al-Jasysyay tukang cat atau tukang gamping. Imam al-Qaffal tukang kunci atau gembok. Al-Soyady atau nelayan. Dan Al-Mawardi penjual air mawar. Dsb.
Ketiga, “S” berarti Sholeh. Kiai Rijal mengungkapkan bahwa banyak ulama besar di masa lalu dan di Indonesia yang lahir dari keluarga bukan ulama. Namun, orang tua mereka memiliki satu ciri khas yang sama, yaitu sholeh, hormat kepada orang alim, dan cinta kepada ulama.
Beliau mencontohkan kisah Pak Ustman di Ploso Kediri yang berprofesi sebagai naib pegawai kecamatan, namun sangat cinta dan hormat kepada ulama serta senang dengan santri. Anaknya, Jazuli bin Ustman, kemudian menjadi perintis dan pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri yang terkenal hingga saat ini. Kisah serupa juga terjadi pada Kiai Bisri Mustofa dan adiknya, Kiai Misbah Zainal Mustofa, yang lahir dari keluarga biasa namun sholeh dan cinta kepada ahli ilmu, yaitu Kaji Sutopo. Kiai Rijal juga menyinggung kisah Imam Ghozali dan ulama lain yang tidak berasal dari kalangan ulama namun memiliki orang tua yang sholeh.
Keempat, “I” adalah Istiqomah. Kiai Rijal menekankan pentingnya memiliki keistiqomahan bagi para santri. Jika selama di pesantren sudah istiqomah dalam tirakat, hafalan Alfiyah, dan hafalan Al-Quran, maka keistiqomahan ini harus terus dijaga, termasuk dalam berpuasa dan mengamalkan Burdah. Beliau mengingatkan bahwa kehidupan di luar pesantren berbeda dengan di dalam.
Kiai Rijal menyampaikan salah satu dawuh Mbah Yai Abdul Wahab Hasbullah kepada seluruh santri Bahrul Ulum agar terus “Ngelanggene Burdah” (melanggengkan membaca Burdah). Pesan para Masayikh Bahrul Ulum lainnya adalah menjaga sholat jamaah, membaca Al-Quran meskipun satu halaman, membaca Burdah, dan mengajar meskipun kepada anak-anak kecil.
Beliau mengutip hadist riwayat Sayidah Aisyah dari Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu meskipun sedikit. Oleh karena itu, Kiai Rijal mengajak seluruh santri dan alumni untuk tetap sekuat tenaga istiqomah mengamalkan dawuh dari para Masayikh Bahrul Ulum Tambakberas.
Dengan empat kunci “MURSI” ini, Kiai Rijal Mumazziq berharap para wisudawan Madrasah Fattah Hasyim dapat meraih kesuksesan dan keberkahan dalam mengarungi kehidupan di masyarakat serta terus mengharumkan nama pesantren. (*)