FH MEDIA – Madrasah Fattah Hasyim telah mengadakan Rapat Pleno Komite Madrasah bersama Wali Peserta Didik Baru pada Selasa kemarin, 08 Juli 2025. Acara tersebut menjadi momen penting bagi para wali murid untuk mengenal lebih jauh profil madrasah, serta bagaimana gambaran detail proses pembelajaran dan pengelelolaan Madrasah Fattah Hasyim.

Dalam sambutannya, Abah K.H. Mohammad Idris, Kepala Madrasah Fattah Hasyim, menyampaikan rasa syukur atas kehadiran para wali murid, terutama segenap alumni yang kembali mempercayakan pendidikan putra-putrinya.

“Alhamdulillah, ini berarti tidak kapok,” ujarnya. Beliau kemudian menyinggung berita hangat tentang pelemahan citra madrasah dan pondok pesantren secara nasional yang kerap terjadi menjelang pendaftaran murid baru. Tapi diluar itu semua, Beliau sangat mengapresiasi loyalitas alumni yang tetap teguh memilih Madrasah Fattah Hasyim, dan pondok pesantren tentunya, dengan karakteristik, nilai-nilai dan lingkungan pendidikan yang ada.

Lebih lanjut, Abah K.H. Mohammad Idris merujuk pada Kitab Al-Hikam karya Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari. Beliau mengutip:
«من تمام النعمة عليك أن يرزقك ما يكفيك ويمنعك ما يطغيك»

“Nikmat yang sempurna bagimu adalah ketika Allah memberi rezeki yang cukup dan menghindarkan rezeki yang membuat bencana, rezeki yang membuat sombong, rezeki yang membuat celaka.”

Beliau menekankan bahwa tidak semua rezeki membawa kesenangan, bahkan ada yang justru menjerumuskan. Abah Idris kemudian menyampaikan kalau nikmat Allah itu terbagi menjadi dua: nikmat lahir (dhahir) dan nikmat batin. “Nikmat lahir tidak ada artinya kalau tidak membawa kebahagiaan ke dalam nikmat batin. Jadi hakikatnya nikmat itu adalah nikmat batin,” tegasnya.

Sebagaimana disebut oleh para Ulama’, nikmat bathin yang paling tinggi itu adalah nikmat iman. Karena iman itu bukan usaha kita, iman itu murni pemberian dari Allah. Kita tidak bisa menjadikan seseorang beriman. Bahkan Rosulullah sendiri tidak bisa memberikan keimanan kepada ummatnya.

Mari kita lihat, orang yang paling berjasa kepada Rosulullah, pamannya sendiri, yaitu Abu Thalib.
Nabi Muhammad SAW, sejak kecil telah menjadi seorang yatim piatu. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, beliau diasuh dan dirawat oleh pamannya, Abu Thalib. Kasih sayang Abu Thalib kepada Nabi Muhammad begitu besar, bahkan melebihi cintanya kepada anak kandungnya sendiri. Ketika Abu Thalib mendapatkan rezeki, ia selalu memprioritaskan kebutuhan Nabi, menempatkan anak-anaknya di urutan kedua.

Peran Abu Thalib sebagai pelindung Nabi Muhammad tidak berhenti sampai di situ. Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dan diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun, beliau menghadapi permusuhan sengit dari para pembesar Quraisy. Di masa-masa sulit ini, Abu Thalib adalah benteng pelindung utama beliau, selalu membela dan mendukung Nabi dari berbagai ancaman.

Namun Nabi Muhammad menghadapi kesedihan mendalam. menjelang Abu Thalib wafat, Nabi memohon agar pamannya itu bersyahadat. Sayangnya, hingga akhir hayatnya, Abu Thalib tidak mengucapkan syahadat. Betapa beratnya perasaan Nabi Muhammad saat itu, menyaksikan paman yang begitu mencintai, menyayangi, dan menjadi penopang serta pembelanya, tidak mengucapkan kalimat tauhid di akhir hidupnya.

Dalam kesedihan itu, Allah menegur Nabi Muhammad melalui firmannya,
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Kamu, Muhammad. Tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai, hanya Allah-lah yang bisa memberi hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki Allah. Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.

Contoh berikutnya adalah Paman yang begitu disayangi Nabi, yaitu Hamzah. Waktu perang uhud, Hamzah ditombak oleh seorang budak dari Habasyah Bernama Wahsyi. Bayangkan betapa sedihnya Nabi ditinggal oleh pamannya, Hamzah. Tapi nanti, Wahsyi yang membunuh paman tercinta Rosulullah, malah justru diberi hidayah oleh Allah dan menjadi Muslim.

Kemudian ada juga, Hamzah, ketika wafat dibelah dadanya oleh Hindun, kemudian diambil dan dimakan jantungnya. Suatu ketika nanti, Hindun ini menjadi Muslimah.

“Berarti, nikmat yang paling tinggi adalah ketika kita diberi Allah nikmat berupa iman. Kemudian yang kedua, adalah nikmat Ketika kita diberi Allah ilmu yang bermanfaat. Kemudian yang ketiga, adalah nikmat Ketika kita diberi Allah amal sholih yang ikhlas. Jika diteruskan tentu akan banyak sekali. Tapi tiga ini adalah yang paling besar dan utama. Dan Ketika nikmat dzohir tidak mengarah kesitu, maka Namanya adalah nikmat yang sia-sia” tuturnya.

Lantas apa bentuk dari nikmat dzohir itu? Abah K.H. Mohammad Idris menjelaskan bahwa nikmat dzohir yang paling rendah derajatnya adalah harta, dalam bentuk apapun. Kemudian lebih tinggi dari itu, adalah nikmat Kesehatan.

“Mobil boleh mewah, tapi asam urat, kolesterol tinggi. Punya saldo banyak, tapi tidak boleh makan sembarangan. Maka kesehatan lebih utama daripada banyaknya harta,” jelasnya.

Lebih tinggi dari keduanya, adalah anak yang sholih. Dan oleh karenannya, kita akan dapat meraih rizqi yang sempurna kalau anak kita bisa memperoleh 3 diatas tadi: pertama punya iman, yang kedua punya ilmu yang manfaat, ketiga punya amal sholih yang ikhlas.

Lebih dalam lagi, Abah K.H. Mohammad Idris mengutip Syaikh Ibnu Athaillah:
والرجاءُ ما قارنه عمَلٌ، وإلا فهو أمنيّة

Bahwa, harapan adalah apa yang disertai dengan amal (usaha), jika tidak, maka itu hanyalah angan-angan.
Memiliki anak yang sholeh, unggul, dan berbakti adalah dambaan setiap orang tua. Namun, impian tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya usaha.

Abah K.H. Mohammad Idris kemudian menceritakan momen beliau setelah menikah, bersama istri sowan ke rumah Mbah (orang tua dari Romo K.H. Mohammad Djamaluddin Ahmad) di salah satu desa kecil di nganjuk. Dalam kesempatan itu, K.H. Mohammad Idris memberanikan diri melontarkan sebuah pertanyaan yang menarik,

“Mbah, panjenengan niku orang awam, orang desa yang biasa, mboten iso ngaji. Tapi kok punya anak laki-laki tiga dan diambil menantu Kiai semua. Niki ikhtiarnya nopo, Mbah?” tanya Abah K.H. Mohammad Idris.

Dan jawaban dari Mbah beliau selaras dengan apa yang telah di sampaikan K.H. Yahya Ketika sambutan tadi dan tercatat dalam buku profil Madrasah dalam Tausiyah Pendiri Madrasah. Diantaranya adalah puasa pada wethon anaknya dan sholat hajat. Baca disini

Merasa takjub dengan jawaban tersebut, Abah Idris melanjutkan pertanyaannya, “Mbah, sampai kapan panjenengan berpuasa untuk anak?”

Jawaban Mbah beliau sungguh mengagetkan, “Sampai sekarang saya masih berpuasa untuk Abahmu” jawab beliau.

Ini menjadi bukti betapa luar biasanya usaha orangtua untuk keberhasilan anaknya. Padahal pada saat itu, Abah Djamal sudah menjadi seorang kiai besar, memiliki anak-anak yang telah dewasa, bahkan menantu-menantu yang juga kiai. Namun, di usianya yang sudah menginjak 86 tahun, Mbah masih tetap berpuasa demi putra-putranya, termasuk Abah Kiai Djamal.

Kisah ini, bersama dengan pesan-pesan mendalam tentang pentingnya iman, ilmu, dan amal shalih, menegaskan kembali bahwa harapan harus disertai dengan usaha nyata. Dan K.H. Mohammad Idris, dalam sambutannya menekankan bahwa capaian besar, termasuk dalam pendidikan anak, selalu membutuhkan upaya dan dedikasi yang tak kalah besar dari orang tua.