Dalam Kitab Fawaidul Mukhtaroh diceritakan ada 3 pencari ilmu yaitu Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun. Ketiganya adalah sahabat baik dan menjadi orang-orang alim di masa-masa mereka belajar di pesantren.

Walaupun ketiganya menonjol dalam hal yang sama yaitu akademik, kepintaran dan prestasi. Sayangnya tiga orang ini memiliki tipe dan gaya belajar yang berbeda.

Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun dalam belajar hanya mengandalkan usaha akal dan pikiran sehingga unggulah keduanya sebagai orang yang alim dan pintar. Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jilani tidak hanya belajar dengan tekun, beliau menghiasi pembelajaranya dengan akhlaq, adab dan tata krama.

Oleh karena itu selain terkenal alim, cerdas dan pintar Syekh Abdul Qadir juga selalu menjaga hatinya. Karena selain ilmu yang didapat dari kecerdasan akal, lebih jauh yang ingin beliau peroleh adalah manfaat dan keberkahan yang hanya bisa didapat dari takdzim, khidmah, dan taslim kepada guru.

Kalau Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun hanya menekankah “Bil jihad wal ijtihad” dalam belajar ilmu. Syekh Abdul Qadir menambah dua usaha itu dengan Mujahadah. Walaupun antara jihad, ijtihad dan mujahadah berasal dari akar kata yang sama yaitu “juhdun” yang berarti bersungguh-sungguh.

Akan tatapi makna tiga kata itu sangat berbeda. Ijtihad adalah kesungguhan dalam hal akal dan pemikiran. Jihad adalah kesungguhan yang bersifat fisik. Sementara Mujahadah bermakna kesungguhan batin seperti prilaku takdzim dan tata krama sebagaimana ayat :

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ

Artinya : Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.

Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun hanya mengandalkan usaha dari jihad dan ijtihad. Tapi Syekh Abdul Qadir Al-Jilani memadukan ketiganya yaitu : Jihad, Ijtihad dan Mujahadah dalam mencari ilmu. Maka sayoganya kita sebagai Murid dan Siswa meneladani tata krama belajar Syekh Abdu Qadir Jailani dengan fisiknya tekun untuk berangkat dan belajar ke sekolah, akalnya berpikir tenyang ilmu ketika diajarkan di sekolah, dan selalu menjaga akhlaq dan tata krama kepada dimanapun sebagai ahli ilmu.

Tata krama belajar yang dilakukan Syekh Abdul Qadir, Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun ini akan sangat terlihat ketika mereka hendak sowan kepada orang alim yang terkenal, kaysaf, dan wali ghoust-nya zaman itu.

Ketika di perjalan tiga sahabat ini ngobrol santai, , Ibnu Saqa bertanya kepada Ibnu Abi ‘Asrun’ tanya ke Ibnu ‘Asrun, “Wahai ‘Asrun nanti jika ketemu Kiai, apa yang akan kamu tanyakan?”. Ibnu ‘Asrun menjawab, “Saya akan menguji kealiman beliau, saya akan tanya bab ilmu apakah dia paham atau tidak”. Sebaliknya Ibnu Asrun bertanya kepada Saqa, “Lalu kamu akan tanya apa ke Beliau wahai Saqa’?”. Ibnu Saqa menjawab, “Sama aku akan menguji kealiman beliau, saya akan tanya bab ilmu dan menanyakan apa saja refrensi kitabnya”.

Kedua sahabat ini kemudian bertanya kepada sahabat ketiga yaitu Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, pertanyaan aap kira-kita yang akan dia tanyakan. Syekh Abdul Qadir menjawab, “Aku tidak akan bertanya apa-apa. Aku hanya akan menjaga hati dan adab ku, karena Kita akan sowan kepada walinya Allah Swt”.

Syekh Abdul Qadir ketika belajar mementingkan pendidikan yaitu akhlaq dan tata krama kepada guru dan orang alim. Sementara dua temannya yang diutamakan adalah pengajaran yang sifatnya hanya pengetahuan saja. Sehingga hasilnya juga berbeda dan terlihat ketika mereka berada di rumah Sang Syekh.

Saat bertamu di rumah Sang Wali, Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun langsung ditembak jawaban oleh Sang Wali tanpa mereka bertanya satu kata pun.

Kepada Ibnu Saqa dan Abi ‘Asrun Syekh Al-Ghaust berkata, “Hai Ibnu Saqa dan Abi ‘Asrun bukankah masalah yang akan kalian tanyakan adalah perihal ini dan itu untuk menguji seberapa kealimanku dan guna menunjukan sombong nya kealiman kalian?. Dengarkan!. Inilah jawaban masalah kalian!. Dan perhatikan bahwa dalam pandangan batinku, aku memandang api kekufuran yang menyala dalam tulang rusukmu sedangkan kamu Ibnu Abi `Asrun, aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu”.

Sementara Syekh Abdul Qadir al-jilani, Sang Wali berkata, “Wahai Abdul Qadir, anakku, aku tahu tujuan kamu ke sini hanya ingin berkah, dan pasti tujuan baikmu akan tercapai, sungguh Aku telah kakimu akan berada di pundak seluruh para wali di dunia ini”.

Ilmu bagaikan air yang tidak mau menempati tempat yang tinggi. Syekh Abdul Qodir mengetahui hal itu sehingga hatinya selalu rendah hati dan bertata krama sehingga ilmu bertempat di hati beliau. Sebagaimana disebutkan dalam syair :

العلم حَرْبٌ للفَتَى المتعالي

كالسيل حربٌ للمكان العالي

Artinya : Musuh dari ilmu adalah hati pemuda yang sombong. Sebagaimana banjir yang tidak akan menempati dataran tinggi.

Syekh Hasan Al-Basri juga berkata :

من لا أدب له لا علم له

Artinya : Barangsiapa tidak memiliki adab tata krama maka ilmu tidak akan ada padanya.

Akhirnya dalam kitab Fawaidul Mukhtarah tersebut Habib Ali Hasan Baharun menceritakan Nasib tiga pelajar tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Sang Wali Ghaus, Ibnu Saqa ketika dia berdebat dengan orang nasrani tergaitboleh wanita nasrani dan akhirnya dia mati dalam keadaan kafir sebagaimana perkataan Syekh, “Aku melihat api kekufuran dalam dirimu”.

Abu ‘Asrun menjadi pejabat yang terus didatangi harta yang melimpah tapi ilmunya tidak bermanfaat. Dia pun sadar apa yang dijalaninya sebagaimana yang dikatakan oleh Wali Ghaust. Sementara Syekh Abdul Qadir mendapat derajat paling tinggi diantara para wali karena tata krama beliau yang rendah hati sampai mendapat pangkat raja dari para wali. Namanya selalu kita sebut dalam tawasul dan manaqibnya selalu dibaca untuk mencari keberkahan.

Oleh karena itu kita sebagai pelajar jadilah pembelajar seperti yang diteladankan Syekh Abdul Qadir al-Jilaini. Yang tidak hanya belajar dengan akal dan fisiknya tapi juga hati dan prilakunya.

Tidak ada tema yang tepat pada hari pendidikan bagi kita para pelajar kecuali menata hati, niat, akhlaq, prilaku kita dalam belajar jangan sampai menyakiti hati guru, jangan membeda-bedakan guru. Karena pada hakikatnya semua guru adalah satu kesatuan dalam mendidik dan mengajarkan ilmu di Madrasah kita, Fattah Hasyim Tercinta.

Jadilah pelajar yang utuh sebagaimana riwayat yang mengatakan : “Ilmu tidak akan memberikan kepda dirimu separuhnya, sebelum engkau memberikan dirimu kepadanya sepenuhnya”. Maka berikanlah .

Akal dan fisikmu untuk mencari ilmu dan berikanlah hati mu untuk ber-akhlaq, ber-mahabah, ber-taslim, ber-takdzim, ber-khidmah kepada para ahli ilmu yaitu guru-guru kita. (*)

_____

 

*Disarikan dari Pengajian Ustadz Yusuf Hidayat, M. PdI. Bab Akhlaq dan Tata krama kepada Peserta Didik Madrasah Fattah Hasyim Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dalam rangka Istigasah dan Peringatan Hari Pendidikan Nasional, 3 Mei 2025.

Oleh: Bapak M. Zulianto, M. HI (Tendik Madrasah Fattah Hasyim)