Jombang 28 April 2019, suasana pagi yang cerah di halaman Madrasah Fattah Hasyim. Pagi ini 234 siswa/i kelas 12 akan melaksanakan wisuda purna siswa.
Pukul 07.00 WIB para wisudawan/wisudawati memulai kirab memasuki lokasi acara wisuda, di susul bapak/ibu guru serta wali murid yang sudah hadir.
Acara-demi acara berjalan dengan baik, samapai pada susunan acara yang di tunggu-tunggu oleh para siswa/i yaitu Pengumuman Hasil Ujian Akhir Madrasah. Acara yang berisi pembacaan SK kepala tentang hasil ujian akhir dan siswa terbaik, disampaikan oleh Bapak Miftahul ‘Ulum, SH, M.PdI. Dalam SK Kepala tersebut disampaikan bahwa jumlah peserta ujian akhir madrasah sebanyak 234 siswa/i, yang dinyatakan LULUS sebanyak 219 dan yang dinyatakan TIDAK LULUS sebanyak 15 siswa/i.
Acara dilanjutkan dengan mauidhoh hasanah yang disampaikan oleh Dr. KH. Ghofur Maimun dari Sarang Jawa Tengah. Diantara isi dari mauidhoh beliau adalah tentang Resep Belajar-Mengajar Rasulullah.
Berikut catatan isi ceramah Dr. KH. Ghofur Maimun pada acara wisuda purna siswa Madrasah Fattah Hasyim 2019 yang di rangkum oleh Bapak M Zuliyanto, S.Sy Guru Madrasah Fattah Hasyim yang mengampu mapel Bahasa Indonesia.
Resep Belajar-Mengajar Rasulullah, Abu Hurairah, Imam Malik, Imam Syafii, Syekh Yasin al-Fadani sampai Kiai Faqih Maskumambang
Rasulullah adalah pribadi yang sangat mementingkan dan memperhatikan pendidikan. Pusat pendidikan Rasulullah berada di masjid, beliau mendidik para sahabat dari generasi ke generasi mulai dari anak-anak seperti Abdullah bin Abbas sampai kepada genarsi yang tua-tua.
Bahkan saking bahagianya Rasulullah dengan semangat belajar para sahabat, Ketika beliau sakit menjelang wafat, beliau masih sempat tersenyum karena memandang jendela yang tertuju pada masjid yang dipenuhi oleh para sahabat dalam proses belajar. Saking bahagia dan sumringah senyum Rasulullah pada waktu itu, para sahabat yang menunggu Rasul menganggap Rasul telah sehat. Padahal beberapa waktu kemudian, ketika jendela ditutup dan nabi bersandar di pangkuan Sayidah Aisyah, pada saat itulah nabi wafat.
Nabi, selain menjadi nabi beliau adalah seorang pedagang, tapi ketika telah menjadi nabi, beliau telah meninggalkan seluruh aktivitas perdagangannya, dan fokus mengajar, sementara usaha perdagangannya dititipkan kepada Sayidina Abu Bakar. Kenapa nabi sampai seperti itu di dalam mengajar?. Tentu karena khawatir
Apabila Beliau mendapat wahyu, beliau lupa tidak menyampaikan kepada umat.
Cerita yang hampir serupa dengan apa yang dilakukan oleh Nabi tersebut adalah kisah Mbah Faqih Maskumambang Gresik yang pada saat beliau hidup pernah menjabat sebagai Wakil Rais Am NU sementara Rais Am-nya adalah Hadratus Syekh Hasyim al-Asyari.
Diceritakan bahwa Kiai Faqih Maskumambang tidak pernah sekalipun menerima santri yang ingin nyantri kepada Beliau, kecuali beliau hanya mengajar keponakan-keponakannya. Suatu ketika Kiai Faqih Maskumambang disowani oleh Mbah Suaib yanh pada saat itu membawa Mbah Zubair untuk dipondokkan. Kemudian singkat cerita diterimalah Mbah Zubair, sebagai santri pertama dari Mbah Faqih.
Diceritakan bahwa setelah menerima Mbah Zubair sebagai santri, yang kemudian diikuti oleh santri-santri dari luar (bukan dari keluarga beliau sendiri), Mbah Faqih kemudian meninggalkan seluruh aktivitas beliau dan fokus mengajar, kata-kata beliau yang mashur adalah, “Nek wes wani dadi kiai, kudu wani fokus ngajar” atau dalam bahasa Indonesia “Barangsiapa berani menjadi kiai, dia harus berani fokus mengajar”.
Nah, pertanyaanya kenapa Nabi sampai meninggalkan seluruh aktivitas beliau hanya untuk mengajar?. Karena beliau takut lupa tidak menyampaikan amanat berupa wahyu kepada umat. Kiai dan guru pun seharus seperti itu, harus mutholaah (mempelajari pelajaran yang akan diajarkan) karena apabila tidak muthalaah dikhawatirkan lupa.
Saking hebatnya nabi dalam menjaga wahyu agar sampai kepada umat dengan hanya fokus mengajar, Allah memberikan bisyarah kepada Rasulullah berupa mukjizat “Sanuqriuka fala tansa”. Yaitu kekuatan menghafal dan tidak lupa, terbukti ketika Malaikat Jibril membacakan QS al-An’am mulai ayat pertama sampai ayat terakhir dan dibaca hanya satu kali, tapi nabi telah hafal. Karena nabi telah dijanji oleh Allah berupa “sanuqriuka fala tansa”.
Oleh karena itu, banyak ulama, apabila akan mengajar belajar lebih dulu, walaupun beliau-beliau sebenarnya sudah bisa. Syekh Yasin al-Fadani, guru dari Mbah Kiai Sahal Mahfudz, dan Mbah Kiai Maimun Sarang, beliau berdua apabila membaca kitab sanadnya banyak yang bersumber dari Syekh Yasin al-Fadani.
Syekh Yasin al-Fadani apabila akan mengajar, malam sudah belajar. Apalagi murid-murid, atau santri-santri sudah seharusnya belajar lebih giat. Syekh Yasin ini, memiliki kebiasaan apabila belajar dicaratat, oleh karena itu banyak kitab-kitab karangan beliau. Tadi apabila siswa Fattah Hasyim sudah mampu menulis buku Ushul Fiqh dan Karya sastra, ini sebenarnya sama dengan meneruskan tradisi para ulma.
Pernah suatu ketika Syekh Yasin mengajar kitab Sunan Abu Daud, kemudian sebelum mengajar beliau mutholaah kitab Sunan Abu Daud dan dicatat. Catatan-catatan Syekh Yasin tentang kandungan kitab Sunan Abu Daud ini kemudian menjadi karya beliau. Sayangnya manuskrip Syarah Sunan Abu Daud yang ditulis Syekh Yasin al-Fadani tersebut sampai sekarang dicari tapi belum ditemukan. Semoga segera bisa ditemukan, sebagai kekayaan khazanah karya ulama nusantara.
Seperti Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi al-Bantani apabila mutholaah juga dicatat, oleh karena itu beliau memiliki karya tulis yang banyak. Sampai ketika beliau mengajar kitab “Minhajut Tholibin” karya Imam Nawawi. Suatu ketika Syekh Nawawi memiliki cita-cita untuk mensyarahi kitab “Minhajut Thalibin” dengan berkata, “Kitab ini, akan segera saya syarahi”. Tapi belum sempat beliau mensyarahinya, Allah lebih dulu memanggil beliau. Begitula “Mautu alim”, sebelum wafat pun yang dipikirkan dan dibicarakan adalah ilmu.
Laki-laki seharusnya memiliki semangat belajar yang tinggi. Semboyan “al-Rijalu qawamuna ala Nisa” itu, seharusnya dijadikan semboyan bahwa laki-laki semangat belajarnya harus lebih tinggi dari perempuan. Nah kalau hari-hari ini banyak yang jadi the best adalah perempuan berarti semangat belajar laki-laki kalau dengan semangat belajar perempuan. Besok kalau menikah biarkan yang menjadi kepala rumah tangga istrinya saja.
Syekh Zakariya al-Anshori, adalah ulama yang memiliki umur panjang, sampai 126 tahun, sampai hampir semua ulama pada masa itu berguru kepada beliau. Syekh Zakariya al-Anshori, ketika pafa masa-masa uzur, penglihatannya mulai rabun. Walaupun dalam keadaan tidak bisa melihat, beliau tetap mengajar, termasuk yang dibaca adalah kitab tafsir Imam al Baidhowi. Caranya bagaimana, tidak bisa melihat tapi bisa membaca?. Muridnya yang disuruh untuk membacakan. Kitab Tafsir Imam al-Baidhowi tersebut yang kemudian oleh beliau disyarahi. Bayangkan, beliau sudah rabun tapi masih menghasilkan ilmu. Itu bukti jika belajar dan berusaha dengan sungguh-sungguh akan melahirkan karya yang luar biasa.
Belajar dan mengajar dengan sungguh-sungguh tersebut, seperti yang dilakukan oleh nabi kepada para sahabat. Ada santrinya yang bernama Abu Hurairah yang tidak bisa baca tulis, andalannya hanya menghafal, lalu Abu Hurairah “wadul” kepada nabi, “Nabi, saya sudah mengaji kepada Jenengan sejak masuk islam, banyak hadist yang saya hafal tapi sekarang saya sudah lupa”. Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ke-7 Hijriyah, dan Nabi wafat tahun ke-11 Hijriyah. Jadi, Abu Hurairah nyantri kepada Nabi hanya tiga tahun, tapi riwayat hadistnya paling banyak.
Suatu ketika Ibnu Umar pernah mendengar hadist dari abu Hurairah, “Barangsiapa yang takziyah kepada jenazah sebelum dimakamkan maka mendapat satu qirath, barangsiapa yang menangi penguburannya maka mendapat dua qorath”. Ibnu Umar meragukan hadist ini, sehingga dichek kesahihannya kepada Sayidah Aisyah, oleh Sayidah Aisyah hadist itu dibenarkan adanya.
Nah, Abu Hurairah karena merasa dicurigai oleh Ibnu Umar, kemudian menyatakan, “Memang benar saya ini, hanya nyantri dengan nabi selama tiga tahun, tapi ketika saya telah masuk Islam saya tidak pernah pisah dengan nabi, ibaratnya seperti “yaduhu fi yadihi”, dan saya pernah berkata kepada Nabi bahwa semenjak saya masuk Islam, saya mengaji kepada beliau, banyak hadist yang telah saya hafal, tapi kemudian hilang dan lupa. Lalu nabi mememrintahkan kepada saya intuk melentangkan serban, kemudian beliau mengambil sesuatu dalam genggamannya dan dimasukan ke dalam serban, kemudian beliau perintah agar sesuatu yang beliau ambil itu diletakkan dibadanku. Sejak saat itu aku tidak perbah lupa hadist-hadist nabi”.
Jadi kecerdasan Abu Hurairah, bukan karena beliau cerdas, melainkan karena barokahnya nabi. Jadi cerdas yang di dalam kitab “alala”, itu sebenarnya ada dua, yaitu cerdas karena memang memiliki kecerdasan sejak lahir, ada yang cerdas di kemudian hari karena mendapat barokah seperti Abu Hurairah. Oleh karena itu, wisudawan yang tadi tidak berprestasi jangan putus asa, karena ada orang yang cerdasnya tidak gawan, seperti Abu Hurairah.
Pernah suatu ketika Zaid bin Tsabid belajar bersama dengan Abu Hurairah, kemudian beberapa saat darang Rasulullah, dan beliau berkata, “Berdoalah kalian berdua, aku yang akan mengamininya”. Berdoalah Zaid bin Tsabit, dan kemudian Abu Hurairah. Ketika Abu Hurairah ditanya oleh Nabi, “Apa yang Kamu minta Ya Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab, “Aku berdoa, sama dengan apa yang diminta oleh Zaid, kemudian aku meminta ‘ilman la yunsa’”. Jadi yang diminta oleh Abu Hurairah adalah ilmu yang tidak bisa dia lupa.
Ibnu Umar pernah berkata tentang Abu Hurairah, “Abu Hurairah itu ilmunya banyak, karena tidak pernah berpisah dengan nabi, ibarat ‘Yaduhu fi yadihi’ selama 3 ,5 tahun nyantri kepada nabi, sehingga memiliki hadist paling banyak”.
Ada orang yang memiliki kecerdasan karena dia memang cerdas seperti Imam Syafii. Beliau sudah menjadi yatim sejak umur 2 tahun sudah yatim. Beliau juga memilki ibu yang sepsial yaitu ibu yang memerhatikan pendidikan anaknya. Karena anak luar biasa pasti lahir dari ibu yang luar biasa pula, dan benar ada dawuh “Alimu nisaakum” atau didiklah perempuan-perempuan, karena mereka pah pencetak generasi masa depan.
Ibu Imam Syafii ketika ditinggal suaminya wafat, yang dipikirkan adalah pendidikan anaknya harus beres. Oleh karena itu dari Gaza Palestina, Imam Syafii diajak ke Mekkah oleh ibunya. Pada saat itu, keadaan mereka sungguh miskin. Jadi biasanya orang cerdas itu, tumbuh dari keluarga yang miskin. Karena miskin, ketika nyantri sangunya minim dan Imam Syafii tidak banyak melakukan aktivitas selain hanya untuk giat belajar. Ini seperti dawuh dari Tholhah bin Ufidz ketika ditanya kenapa Abu Hurairah cerdas?. Karena beliau miskin, sehingga tidak ada aktivitas lain kecuali fokus mengaji kepada Rasulullah.
Nah, mungkin mungkin ini adalah salah satu kiat rahasia cerdas, yaitu karena miskin dan Imam Syafii tidak sempat melakukan apa-apa, hanya belajar terus menerus. Oleh karena itu, wali santri kalau ingin punya anak yang seregeb jangan dikasih uang saku banyak ketika mondok, dari tidak punya bekal banyak para santri akan belajar prihatin.
Kalau ada santri tidak diberi uang saku banyak, itu bukan karena orang tua tidak sayang. Tapi karena mereka harus fokus belajar, dan melatih keprihatinan terhadap sesama. Kalau uang sakunya banyak, mereka akan sering keluar dan melakukan banyak hal, sehingga tidak fokus belajar.
Imam Syafii belajar kepada Imam Malik. Ketika umur 14 tahun Imam Syafii telah hafal kitab Muwatho (kitab hadist yang lebih tebal dari Alquran). Nah, uniknya Imam Syafii ketika belajar adalah dengan menggunakan jari untuk menulis dengan media air. Oleh Imam Malik hal itu kemudian ditegur, “Kamu ini, waktunya belajar kok malah bermain”. Imam Syafii menjawab, “Saya tidak sedang bermain Guru, saya sedang mencatat pelajaran yang Anda terangkan di atas air”. Kemudian Imam Malik berkata, “Kalau Kamu mencatat dengan air pasti akan hilang”. Kemudian Imam Syafii menjawab, “Sebelum catatan saya di air itu hilang, Saya telah menghafalnya terlebih dahulu Guru”. Imam Syafii dikenal memilki kekuatan menghafal yang luar biasa bahkan ketika beliau berumur 4 tahun, sudah hafal al-Quran.
Para wisudawan Fattah Hasyim yang tadi jadi the best, itu adalah cerdas “gawan”, tirulah Imam Syafii, maka insyaAllah Kamu akan jadi orang baik. Imam Syafii selain murid yang luar biasa juga memiliki guru yang luar biasa, seperti Imam Malik. Imam Malik adalag guru yang yang memiliki ketajaman di dalam membaca keadaan murid-muridnya. Oleh karena itu Beliau berpesan kepada Imam Syafii :
“Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan, sungguh, Engkau memiliki masa depan yang cemerlang. Sesungguhnya Allah telah menancapkan cahaya dalam hatimu. Maka, jangan sekali-kali Engkau memadamkannya dengan kemaksiatan!.”
Dicerirakan bahwa Imam Syafii berangkat dari Makah tempat bermukim ibunya, ke Madinah tempat Imam Malik mengajarkan ilmu, menempuh waktu sampai 8 hari. Dalam perjalanan nyantrinya Imam Syafii berhasil mengkhatamkan Alquran 16 kali. Mungkin inilah hadiah tawasul dari Imam Syafii yang memang sudah terpesona ingin menjadi murid Imam Malik, yaitu dengan menghatamkan Alquran 16 kali selama 7 hari perjalanan.
Sampai di Madinah, hal pertama yang dilakukan Imam Syafii adalah sowan kepada manusia paling mulia yaitu Baginda Muhammad SAW. Pucuk dicinta ulam pun tiba, seusai Imam Syafii ziarah di makam nabi, ia mendapati sang idola Imam Mailk yang sedang mengajar hadist dengan gayanya ketika menjelaskan menyebut “an shohibi hadzihil maqbarah”, kalimat itu beliau ucapkan untuk mengajak psikologi murid-muridnya agar lebih khidmad belajar hadist.
Para kiai itu kalau mendidik santri punya haibah. Saya dulu ngaji di sarang, lalu kuliah di Mesir. Kalau di pondok sering sekali, ada rasa haru guru dalam menerngkan, atau ketika kiai membaca kitab sering menangis. Beda dengan kuliah saya belum pernah tahu, ada dosen saya menangis ketika menerangkan pelajaran. Kadang kadang santri baca alquran menangis, justru ini menjadikan santri yang dekat kepada Allah. Nah, itulah yang dilakukan Imam Malik dengan menyebutkan kalimat “An-Shohibi maqabarah”, ketika membacakan hadist karena mangaji di Raudhoh.
Imam Syafii memiliki akhlak yang tinggi terhadap Imam Malik gurunya, diceritakan ketika Imam Syafii berhadapan dengan Imam Malik, kharisma dan haibah Imam Mailk langsung masuk ke dalam hati beliau, sampai Imam Syafii tidak berani membalik kitab untuk memindah halaman. Ini dilakukan karena Imam Syafii karena saking takutnya bergerak di depan Imam Malik. Sehingga Imam Syafii tidak pernah pergi berpindah pondok untuk mengaji sampai Imam Malik wafat.
Cerita tersebut seperti yang dilakukan Abu Hanifah atau Imam Hanafi yang mengaji kepada Syekh Hammad bin Sulaiman mulai dari beliau umur 22 tahun sampai beliau umur 42 tahun, ketika Syakh Hammad telah wafat. Tradisi seperti ini masih lestari di kalangan ulama nusantara seperti Mbah Manaf mondok sampai umur 40 tahun. Mbah Ghazali pendiri pondok Sarang juga mondok sampai 40 tahun dan kemudian baru menikah.
Imam Abu Hanifah ditengah-tangah mondoknya, sudah ingin boyong karena sudah memiliki keinginan mendirikan majils ilmu sendiri. Pada saat itu, beliau merasa sudah alim, sehingga beliau pindah ke basroh, untuk adu kehebatan. Di Basrah Beliau menerima semua pertanyaan namun hanya ada beberapa masalah yang sanggup beliau jawab. Dari sana, beliau sadar bahwa beliau masih belum cukup matang dalam hal keilmuan, sehingga beliau nyanyti kembali sampai umur 40 tahun, ketika Syekh Hamad wafat.
Jadi faktor “Irsyadu ustazin” untuk menghasilkan murid luar biasa itu memang ada. Yaitu Abu Hanifah dengan Imam Hammad, Abu Hurairah dengan Nabi Muhammad, dan Imam Syafii dengan Imam Malik.
Imam Syafii setelah ditinggal wafat Imam Malik, karena saking fakirnya beliau tidak punya buku. Kalau ingin menghatamkan buku beliau bermain ke rumah temannya, dengan khajat ingin membaca buku untuk dikhatamkan. Setelah itu beliau berpindah ke Yaman, dan menjadi stafnya qadli, atau semcam ASN kalau sekarang. Karena menjadi staf qadli, beliau dibayar pemerintah dan qadlinya. Setelah dirasa cukup Beliau berpindah ke Bagdad untuk mengaji dengan santrinya Abu Yusuf dalam riwayat lain Muhammad bin Hasan. Beliau mengikuti jejak Nabi Musa yang walaupun sudah Alim tetap mau belajar kepada Nabi Khidir. karena Wa fauqa dzi alimin, aliman.
Zaman sekarang apa masih ada?. Misalnya sudah jadi Rois Suriah, disuruh ngaji lagi, atau mondok lagi, kira-kira mau atau tidak?. Nah, Nabi Musa tetap mau nyantri kepada Nabi Khidir dan Imam Syafii ngaji lagi kepada murid Abu Yusuf.
Imam Syafii ngaji lagi selama 3 tahun, lalu pulang ke Madinah. Beliau membawa dua kendaraan, satu kendaraan untuk mengendarai beluau dan satu kendaraan untuk membawa kitab-kitab yang beliau beli dari hasil kerja. Begitulah Imam Syafii, sudah melalang buana mencari ilmu, mendapat “Ijazatul Iftak”, tapi ketika umur 34 tahun beliau baru membuka majelis.
Ada lagi santrinya Kanjeng Nabi, yaitu Abdullah bin Masud, yang memiliki metode belajar ngaji dan khitmad. Dimanapun ada nabi, disitu pasti ada Adullah bin Mas’ud yang berkhidmad kepada Nabi. Beliau memiliki kebiasaan mebawakan sandal nabi, sehingga memilki julukan “Shohibu Naklai Rosul” atau pemilik sandal Rasul, dan “Shohibu Sirri Rasul” yang artinya pemilik rahasia nabi. Abdullah bin Masud ini yang mengamalkan dawuh “Barokatul ilmi fil khidmah” yaitu barokahnya ilmu di dalam berkhidmad.
Para wali santri kalau melihat anaknya di pondok sedang roan nyapu jangan kecewa, seharusnya malah bahagia. Para santri jangan malas-malasan kalau disuruh roan, karena barokahnya ilmu itu, di dalam pengabdian. Seperti yang dilakukan Abdullah bin Masud, yang menerapkan Khidmah sebagai bagian dari metode pendidikan. Jadi kalau ada anak-anak santri roan, seharusnya orang tua bangga, karena anak sedang menyelami proses metode pendidkkan ala pesantren. (*)
-Disimpulkan dari ngaji Wisuda Purna Siswa Madrasah Fattah Hasyim Bahrul Ulum Tambakberas Jombang oleh Dr. KH. Ghofur Maimun Sarang.